pagi ini...membaca sebuah postingan di grup facebook yakni group Preschool Online
semoga postingan ini membantu kita untuk menjadi orang tua yang lebih baik, dan lebih dibanggakan oleh anak kita :)
Sebuah cerita yang menginspirasi layak buat dibagi...selamat
menyimak dan semoga menjadi teguran bagi kita sebagai orang tua atau calon
orang tua... AKU INGIN ...IBU DAN AYAHKU .......
~ Tahun 2002 yang lalu saya harus
mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk
di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas
dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah,
Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi
itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan
apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di
rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu
belajar di kelas hanyau untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.
Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika “Apa yang kamu inginkan ?”
Dika
hanya menggeleng. “Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?” tanya saya
“Biasa-biasa saja” jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan
wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian
lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang
psikolog. Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah
untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi
soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil
bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka
kecerdasan rata - rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk
aspek - aspek kemapuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti,
penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 – 160. Ada satu
kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115
(Rata-Rata Cerdas). Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang
berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut.
Oleh sebab itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika
kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test
kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali
mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis
yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal
Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur
dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah
seorang ibu yang masih jauh dari ideal
Ketika Psikolog itu menuliskan
pertanyaan “Aku ingin ibuku :….” Dikapun menjawab : “membiarkan aku bermain
sesuka hatiku, sebentar saja” Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap
bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain
bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif
sehingga saya merasa perlu menjawalkan kapan waktunya menggambar, kapan
waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca
buku cerita, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya. Waktu itu
saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang
tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal
kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana
: diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “Aku ingin Ayahku …” Dikapun
menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya “Aku ingin
ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu” Melalui
beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau
disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat
ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada
Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya
sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV
secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu.
Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh
kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan “Aku ingin ibuku
tidak …” Maka Dika menjawab “Menganggapku seperti dirinya” Dalam banyak hal
saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin,
hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang
paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis
seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin
menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak
adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan
pertanyaan “Aku ingin ayahku tidak : ..” Dikapun menjawab “Tidak mempersalahkan
aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang
aku buat adalah dosa” Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk
selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat
kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap
kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan
memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya
dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan
apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami
lakukan untuk mencegah atau menghentikannya. Saya menjadi sadar bahwa ada
kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun
bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang
salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu
mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan
“Aku ingin ibuku berbicara tentang …..” Dikapun menjawab “Berbicara tentang
hal-hal yang penting saja”. Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru
menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk
membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR
yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting,
bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawabab Dika yang polos
dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada
hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah
pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
Atas pertanyaan “Aku ingin ayahku berbicara
tentang …..”, Dikapun menuliskan “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan
kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan
tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta
maaf kepadaku”. Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai
manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana,
yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu
meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan “Aku ingin ibuku setiap hari ……..” Dika
berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar ” Aku ingin ibuku
mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku” Memang
adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak
pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan
hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya
terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua
yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan
sebagai tindakan yang tidak adil atau pilihiiiu kasih.
Secarik kertas yang
berisi pertanyaan “Aku ingin ayahku setiap hari…..” Dika menuliskan sebuah kata
tepat di atas titik-titik dengan satu kata “tersenyum” Sederhana memang, tetapi
seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan
wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak
akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi
anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya
setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “Aku ingin
ibuku memanggilku….” Dikapun menuliskan “Aku ingin ibuku memanggilku dengan
nama yang bagus” Saya tersentak sekali ! Memang sebelum ia lahir kami telah
memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan.
Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau
Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki.
Sedangkan Le dari kata “Tole”, kependekan dari kata “Kontole” yang berarti alat
kelamin laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar
saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “Aku ingin ayahku memanggilku
..” Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”. Selama ini suami saya
memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara
dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis
Paijo, tukang sayur keliling” kata suami saya...
Atas jawaban-jawaban Dika yang
polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah
lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya
kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak
Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect
Child Rights is an Obligation, not a Choise” sebuah seruan yang mengingatkan
bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”. Tanpa saya
sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan
panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum
anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua
kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadangjengkel, ternyata ada banyak Pesan
Yang Tak Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak
ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak
boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik
anaknya di dalam ajaran dan nasehat ALLAH. Untuk menyambut Peringatan Hari Anak
Nasional Tanggal 23 Juli 2004, saya ingin mengingatkan kembali kepada para
orang tua supaya selalu berpikir,bersikap dan melakukan hal-hal yang
dikehendaki ALLAH.
(Ditulis oleh : Lesminingtyas)
0 komentar:
Post a Comment
Biar aku bisa jalan jalan ke blogmu, silahkan tinggalkan komen di postingan ini yah